Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi
berasal dari bahasa Yunani, Phainoai, yang berate “ menampak” dan Phainomenon
merujuk pada yang menampak. Istilah fenomenologi diperkenalkan oleh Johann
Heirinckh. Meskipun demikian pelopor aliran fenomenologi adalah Edmund Husserl.
Jika dikaji lagi Fenomenologi itu berasal dari phenomenon yang
berarti realitas yang tampak. Dan logos yang berarti ilmu. Jadi
fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan dari
realitas yang tampak.
Penelitian fenomenologi mencoba
menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari
oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Fenomenologi dilakukan
dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau
memahami fenomena yang dikaji dan peneliti bebas untuk menganalisi data yang
diperoleh.
Menurut
Creswell (1998), Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap
yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche
(jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan
interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat dimana peneliti menyusun dan
mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang
dikatakan oleh responden.
Metode Fenomenologi, menurut
Polkinghorne (Creswell,1998) Studi fenomenologi menggambarkan arti sebuah
pengalaman hidup untuk beberapa orang tentang sebuah konsep atau fenomena.
Orang-orang yang terlibat dalam menangani sebuah fenomena melakukan eksplorasi
terhadap struktur kesadaran pengalaman hidup manusia. Sedangkan menurut Husserl
(Creswell, 1998) peneliti fenomenologis berusaha mencari tentang hal-hal yang
perlu (esensial), struktur invarian (esensi) atau arti pengalaman yang mendasar
dan menekankan pada intensitas kesadaran dimana pengalaman terdiri hal-hal yang
tampak dari luar dan hal-hal yang berada dalam kesadaran masing-masing
berdasarkan memori, image dan arti.
Tujuan dari fenomenologi, seperti
yang dikemukakan oleh Husserl, adalah untuk mempelajari fenomena manusia tanpa
mempertanyakan penyebabnya, realitas yang sebenarnya, dan penampilannya.
Husserl mengatakan, “Dunia kehidupan adalah dasar makna yang dilupakan oleh
ilmu pengetahuan.” Kita kerap memaknai kehidupan tidak secara apa adanya,
tetapi berdasarkan teori-teori, refleksi filosofis tertentu, atau berdasarkan
oleh penafsiran-penafsiran yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi
kehidupan, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Maka fenomenologi menyerukan zuruck
zu de sachen selbst (kembali kepada benda-benda itu sendiri), yaitu upaya
untuk menemukan kembali dunia kehidupan.
Terdapat dua garis besar di dalam
pemikiran fenomenologi, yakni fenomenologi transsendental sepeti yang
digambarkan dalam kerja Edmund Husserl dan fenomenologi sosial yang digambarkan
oleh Alfred Schutz. Menurut Deetz (Ardianto,dkk, 2007:127) dari dua garis besar
tersebut (Husserl dan Schutz) terdapat tiga kesamaan yang berhubungan dengan
studi komunikasi, yakni pertama dan prinsip yang paling dasar
dari fenomenologi – yang secara jelas dihubungkan dengan idealism Jerman –
adalah bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman eskternal
tetapi dalam diri kesadaran individu. Kedua, makna adalah
derivasi dari potensialitas sebuah objek atau pengalaman yang khusus dalam
kehidupan pribadi. Esensinya, makna yang beraal dari suatu objek atau
pengalaman akan bergantung pada latar belakang individu dan kejadian tertentu
dalam hidup.Ketiga, kalangan fenomenolog percaya bahwa dunia dialami – dan
makna dibangun – melalui bahasa. Ketiga dasar fenomenologi ini mempunyai
perbedaan derajat signifikansi, bergantung pada aliran tertentu pemikiran
fenomenologi yang akan dibahas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar